Revolusi Kebudayaan dalam Community Development

Wacana pemberdayaan masyarakat kini diperkaya dengan hadirnya Appreciative Inquiry (AI), sebuah pendekatan baru dengan paradigma baru pula. Paling tidak terminologi 'baru' ini berlaku untuk masyarakat, namun (mungkin) tidak bagi beberapa LSM.

Pertama berkenalan dengan AI, yang tampak adalah sebuah daur dengan 4 titik perhentian, yang disebut sebagai 4D-nya AI. Diawali dengan tahap Discovery, Dream, Design, dan terakhir Destiny (Delivery). Demikian seterusnya, daur ini akan berputar seiring berjalannya waktu.

Tapi lalu ada hal-hal yang lebih mendasar dibalik 4D ini. Satu tahapan yang disebut sebagai Affirmative Topic Choice. Tahap ini memang tidak nampak jelas dalam berbagai literatur yang berhasil dikumpulkan, tetapi ternyata tahap ini krusial bagi keberlanjutan daur 4D. Tahapan pra-4D ini berupaya menentukan fokus yang akan digali lebih jauh dalam kerangka daur yang pertama, yakni Discovery.

Tanpa fokus yang jelas dalam ber-AI, akan menyesatkan pesertanya dalam banyak sekali topik-topik, sekumpulan informasi yang tidak mudah untuk dikelola. Memfokuskan topik penggalian juga akan memfokuskan kemana arah perubahan yang diinginkan. Tahap Discovery akan mengarahkan peserta pada cerita sukses dalam situasi dan setting yang relatif sama, karena fokus yang telah ditetapkan sebagai affirmative topic.

Menggali cerita sukses di masa lalu bukan sekedar aktivitas bernostalgia, tetapi berupaya mengapresiasi apa yang telah berjalan dengan baik dalam organisasi atau komunitas. Aktivitas yang berbau reflektif ini diarahkan hanya pada hal-hal yang sudah berjalan baik, tanpa reserve. Para pelaku akan melakukan penelitian atas diri mereka sendiri, mereka yang menjadi bagian dari organisasi/komunitas.

Mengeksplorasi diri, menjadi salah satu ujung tombak dari paradigma AI. Kata Inquiry, yang melekat di belakang kata Appreciative, berarti tindakan eksplorasi atau penemuan, menyiratkan tindakan penyelidikan tentang kemungkinan baru, dan sebuah komitmen untuk belajar. Selanjutnya adalah proses menetapkan visi bersama, dan merancang, menstrukturkan kembali segala sumberdaya yang dimiliki organisasi/komunitas agar visi tersebut dapat tercapai. Cara baru mengelola sumberdaya inilah yang akan mengantarkan organisasi/komunitas menuju visi yang diimpikan. Tahapan terakhir adalah melembagakan cara baru ini ke setiap unsur organisasi/komunitas, sehingga melahirkan budaya baru dalam organisasi/komunitas.

Prasyarat yang dibutuhkan
Demi kelancaran proses 4D seperti yang digambarkan di atas, Coperrider sebagai salah satu penemu AI menyatakan bahwa sebagai sebuah paradigma baru, AI harus diterima sebagai sebuah keniscayaan. Artinya siapapun yang akan menjalani AI, membutuhkan 'keimanan' yang cukup dalam terhadap kemampuan AI membawa perubahan. Tanpa keimanan yang cukup, maka 4D hanya akan menjadi sekedar metodologi, teknik-teknik yang dipraktekkan tanpa penjiwaan yang cukup. Ibarat sebuah skenario film yang diperankan tanpa ekspresi.

AI memang bukan sekedar sekumpulan teknik, bukan metodologi yang cespleng untuk mengatasi sebuah persoalan. AI adalah sebuah paradigma baru dalam memandang misteri kehidupan sebuah organisasi/komunitas. Jika menurut paradigma lama, kita memandang organisasi/komunitas adalah sebuah kumpulan persoalan yang butuh jalan keluar, maka AI menawarkan cara pandang yang lain. Sebuah organisasi/komunitas adalah sebuah misteri yang terdiri dari sekumpulan orang-orang dan sumberdaya, yang menunggu untuk dipecahkan. Namanya juga misteri, maka kita belum tahu pasti akan kemana arahnya.

Arah yang akan dicapai, menurut AI, ada di tangan orang-orang di dalam organisasi/komunitas itu sendiri. Jika kehancuran yang menjadi tema utama keseharian mereka, maka hancurlah organisasi itu. Jika kesejahteraan yang dijadikan nafas kehidupannya, maka kesanalah organisasi itu akan berujung.

Memperkenalkan cara pandang baru ini bukan sekedar mengganti kacamata, melainkan pergantian kepercayaan. Sebagai sebuah konsep, AI membutuhkan komitmen organisasi/komunitas untuk terus menerus belajar, tumbuh, dan berkembang. Langkah pertama yang disarankan Coperrider adalah internalisasi oleh organisasi/komunitas itu terhadap konsep-konsep yang diusung AI.

Maka diperlukan sebuah proses menggugat kepercayaan lama, dan menggantinya dengan yang baru. Memperkenalkan cara pandang yang baru, adalah sekaligus menyatakan bahwa cara pandang yang lama itu kurang tepat. Cara pandang tidak sekedar mempengaruhi cara berpikir, tetapi merupakan sebuah dasar bagi dinamika sebuah komunitas.

"A constellation of concepts, values, perceptions and practices shared by a community which forms a particular vision of reality that is the basis of the way a community organizes itself."

- Thomas Kuhn, the Structure of Scientific Revolutions (1962)

Dalam teori Paradigma Shift-nya Thomas Kuhn, setiap kali muncul sebuah paradigma baru, meski melalui sebuah proses sosial yang kompleks sekalipun, paradigma yang baru itu memang benar-benar lebih baik daripada yang lama, bukan sekedar 'berbeda'. Teori Kuhn memang berdasar pada perkembangan ilmu pengetahuan, dan AI, yang lahir dari tradisi kependidikan Barat, tampaknya pantas kalau kita bingkai dalam kerangka berpikir Kuhn.

Revolusi kebudayaan dalam paradigma baru AI
Memperkenalkan paradigma baru, pada akhirnya akan berhubungan dengan pembentukan budaya baru. Proses pembentukan budaya baru, tentu saja bukan proses setahun atau dua tahun. Teman-teman LSM di NTT, butuh bertahun-tahun untuk memperkenalkan yang namanya Wanatani. Bahkan sampai sekarang, perilaku lama tebas bakar dan tarik api masih menjadi musuh utama dalam sistem pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam disana.
Sekarang, ada yang namanya AI. Ia akan diperkenalkan kepada masyarakat, sebagai sebuah cara pandang baru menuju kesejahteraan bersama. Lupakan bahwa kita punya segunung masalah, dan mari melihat apa yang kita punya. Dari sinilah kita akan memulai perubahan, dari apa saja yang sudah berjalan baik hingga hari ini.

Disinilah muncul pertanyaan besar dalam mencoba memperkenalkan AI. Upaya apa yang akan ditempuh untuk mengubah paradigma masyarakat, dari paradigma defisit menjadi apresiatif? Sebuah upaya revolusi dalam perubahan sosial?

“If you want to change the culture, change the conversation. If you want to change the conversation, change the questions you ask . . .”

- Joyce Majors

Pernyataan di atas mengindikasikan, bahwa revolusi yang dimaksud memang tidak mustahil terjadi. Mengubah tema-tema pembicaraan dengan cara menanyakan hal yang berbeda merupakan salah satu cara yang dianggap AI sebagai cara ampuh.

Membuat revolusi bisa dimulai dengan melibatkan semua orang untuk ikut peduli terhadap tema-tema perubahan, dan terus mengajukan pertanyaan kritis terhadapnya. Pertanyaan yang tepat akan mengarahkan pada perubahan. Mengajukan pertanyaan, sama dengan menanam bibit perubahan.