Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam

Ilya Moeliono

Luas hutan menyusut drastis karena pemanfaatan yang berlebihan, sengketa memperebutkan lahan dan sumber-sumber air antar berbagai kelompok masyarakat merebak di banyak tempat, erosi berlanjut, kesuburan tanah-tanah pertanian menurun, pendangkalan dan pelumpuran sungai, dan pencemaran lingkungan di perkotaan, adalah bukti kondisi sumberdaya alam dasar (resource base) kita sudah sangat kritis.

Sebenarnya tidak sedikit program konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah dikerjakan, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Tetapi yang nyata-nyata bisa dilihat di lapangan saat ini adalah program-program tersebut tidak sanggup mengimbangi kerusakan yang melaju cepat dan intens. Terlihat bahwa sumberdaya alam yang rusak bukan sekedar persoalan yang bisa diselesaikan dengan solusi teknis semacam penghijauan yang selama ini menjadi kerja-kerja dominan program konservasi. Menjadi penting untuk memeriksa kembali kelayakan model-model dan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini digunakan.

Dua Paradigma

Kita mengenal dua model pengelolaan sumberdaya alam, yakni pengelolaan sumberdaya alam oleh negara dan oleh masyarakat. Model pertama, negara adalah aktor utama yang menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sebagaimana disebut dalam konstitusi, pemanfaatan dan pengelolaan tersebut ditujukan untuk ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Yang terjadi di lapangan, negara memang membuat berbagai kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan, tetapi kebijakan yang paling dominan adalah memberi hak penguasaan atas sumberdaya alam pada perusahaan. Celakanya pula perusahaan-perusahaan ini beroperasi dengan orientasi jangka pendek atau sebatas masa operasi dan jabatan pihak-pihak yang bersang­kutan. Kebijakan tersebut untuk sebagian besar juga tidak dipatuhi, dan dalam banyak kasus negara tidak sanggup menegakan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Model kedua adalah pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. Model ini bekerja dengan asumsi bahwa masyarakat, karena sejarah, mempunyai hak adat atau hak ulayat atas sumberdaya alam di wilayahnya. Masyarakat mempunyai budaya konservasi, dan tinggal di lokasi sumberdaya alam berada. Karena penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam tersebut, pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dianggap lebih bertanggungjawab.

Anggapan tersebut tidak serta merta benar. Memang masyarakat adat sudah ada jauh sebelum adanya negara, tetapi pada jaman itu hak-hak atas sumberdaya alam tidaklah didefinisikan dengan tepat, dan ketika itu memang hal itu belum diperlukan. Di berbagai daerah, kelembagaan tradisional dalam penge­lolaan sumberdaya alam telah melemah. Banyak budaya konservasi dan kearifan tradisonal telah terlupakan dan tidak dipahami lagi. Berbagai larangan adat yang masih diketahuipun sudah banyak tidak dipatuhi lagi.

Kalaupun beberapa komunitas telah memiliki budaya konservasi, ternyata budaya itu lahir karena keadaan yang memang tidak me­mungkin­kan masya­rakat mengekploitasi sumberdaya alam secara intensif. Teknologi yang di­miliki masih sangat ter­batas, organisasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam masih sederhana, dan pasar yang lebih luas tidak ada. Di banyak komunitas seperti ini, banyak warga masyarakat telah belajar untuk mengelola sumberdaya alam dengan berorientasi ekonomis-produktif jangka pendek pula.

Prasyarat Demokratisasi

Dua model pengelolaan sumberdaya alam tersebut punya keterbatasan. Model pertama gagal karena pemerintah tidak kuasa menegakkan kebijakan. Model kedua bermasalah karena asumsi dan klaim-klaim adat yang meragukan. Akibatnya secara de facto sumberdaya alam itu menjadi apa yang disebut sebagai “sumberdaya alam bebas” (open access resource). Dia bebas dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja, dalam jumlah berapa saja tanpa kontrol dan regulasi. Ungkapan sederhana yang berlaku adalah: “Kalau bukan saya yang mengambilnya hari ini, pasti orang lain yang akan mengambilnya besok”.

Kompetisi eksplotasi itu memuncak pasca Orde Baru, dan belum mereda hingga hari ini ketika kemampuan pemerintah untuk me­negakan aturan pengelolaan sumberdaya alam melemah. Kelemahan ini di­manfaat­kan seba­gian masyarakat untuk mengambil berbagai sumberdaya alam, terutama kayu dan lahan di kawas­an hutan, secara tidak terkendali dan di luar semua aturan. Sayangnya masyarakat juga hanya kuat menguasai sumberdaya alam, tetapi belum memadai untuk mengelolanya secara berkelanjutan.

Jalan keluar dari kemacetan dua model pengelolaan itu ditawarkan oleh Elinor Ostrom dalam bukunya Governing The Coomons: The Evolutions of Institutions for Collective Action (1990). Praktisi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia menyebut model Elinor Ostrom ini sebagai model pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community based natural resources management). Inti gagasan model ini adalah membatasi penggunaan sumberdaya alam supaya tidak melampaui daya dukungnya.

Ada beberapa prasyarat yang diajukan Elinor Ostrom untuk mengoperasikan model ini. Pada tataran komunitas perlu ada penentuan batas-batas hak pengelolaan sumberdaya alam bagi anggota komunitas pemanfaat sumberdaya alam itu maupun komunitas-komunitas lain di sekitarnya dalam wilayah yang sama. Komunitas harus memiliki aturan dan kelembagaan pengelolaan yang jelas yang mampu secara efektif mencegah, membatasi, atau mengatur pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak dari luar komunitas pengelolaan sumberdaya alam yang bersangkutan.

Dalam model ini, regulasi pengelolaan sumberdaya alam oleh negara tetap diperlukan. Tetapi fungsi regulasi ini tidak merambah masuk ke dalam batas kewenangan unit-unit pengelolaan sumberdaya alam di tingkat komunitas. Negara harus pula melindungi hak-hak komunitas terhadap kemungkinan intervensi pengelolaan yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak di luar komunitas yang bersangkutan. Pengelolaan sumberdaya alam langsung oleh negara juga masih diperlukan, tetapi dibatasi hanya pada sumberdaya alam yang benar-benar diluar kemampuan masyarakat mengelolanya.

Kilas Balik Komunikasi Pembangunan


Di penghujung tahun 60-an, ilmu komunikasi mencatat perkembangan menarik ketika kalangan jurnalis menerapan teori dan konsep komunikasi untuk keperluan penyeleng­garaan program pembangunan. Mereka menyebutnya Jurnalisme Pembangunan. Cikal-bakal lain yang mendorong tumbuhnya metodologi ini di wilayah Asia Tenggara adalah ketika mulai dikembangkannya mata studi Komunikasi Pertanian di University of Philippine, Los Banos. Belakangan, istilah-istilah untuk menyebut program ini pun mulai beragam seperti, Komunikasi Penunjang Pembangunan (Development Support Communication), Pengiklanan Pembangunan (Development Advertising), dsb.

Program komunikasi yang tumbuh di berbagai kalangan dengan sebutan yang berbeda-beda tersebut, jika dikaji keterpautannya satu sama lain, dapat dimaknai sebagai: “Suatu pencarian bersama tentang isi, dan metode komunikasi yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat miskin yang berjuang menuju suatu kehidupan yang lebih baik” (Quebral,1986).
Sebagai suatu cabang ilmu, Komunikasi Pembangunan berpangkal dari: Teori-teori pembangunan, komunikasi massa, penyuluhan pertanian, pendidikan, dan ilmu-ilmu dasar seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, dan antropologi.

Meskipun Komunikasi Pembangunan tidak pernah disebut-sebut di kalangan LSM, kegiatan pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan penerapan dari komunikasi pembangunan. Hal ini dapat diamati bahwa dalam praktiknya LSM selalu menyertakan tindakan komunikasi dan penggunaan media, atau menyebut penyuluhan, pengembangan masyarakat, pendidikan non-formal, pendidikan luar-sekolah, pendidikan kritis, pendidikan orang-dewasa, advokasi, sosialisasi, konsultasi publik, kampanye, demokratisasi, dsb.
Juga istilah-istilah seperti: Belajar sambil Bekerja, Magang, Perencanaan Partisipatif, Belajar dari Pengalaman, Lokakarya, Pelatihan, Kunjungan-silang, Jaringan Kerjasama, Diskusi Kelompok, Penyuluhan sesama, dsb.

Media dan Komunikasi Pembangunan
Pada gilirannya, semua teknologi saluran dan media hampir tidak ada yang tidak pernah digunakan (setidaknya pernah dipertimbangkan) dalam program pengembangan masyarakat, dari komunikasi tatap-muka, kelompok hingga massa, melalui media cetak elektronik, hingga multi-media. Bahkan lembaga-lembaga yang mengembangkan program pelatihan sampai perlu membentuk unit pengembangan media pelatihan sendiri.

Lembaga-lembaga yang mendukung program komunikasi pembangunan pun dalam perkembangannya mulai melintasi batas negara ketika problem-problem pembangunan tidak lagi dipandang sebagai masalah dalam negeri tetapi masalah manusia dan kemanusiaan. Perubahan pandangan ini diduga ada kaitan erat dengan media radio, yang memang memiliki kelenturan-kelenturan antara lain kelebihan dalam hal daya-jangkau, murah dalam pembiayaan pembangunan instalasi dan pengelolaan prosesnya, dan mudah diakses. (Komunikasi pembangunan diduga telah dimulai di kalangan praktisi program radio jauh sebelum istilah ini menjadi wacana global. Tiga stasiun radio nasional di Kanada pada tahun 1941 membentuk Forum Radio untuk mendukung pertukaran informasi dan pengalaman bagi kalangan petani Kanada).

Media dan Pergeseran Paradigma Pembangunan
Tumbuhnya kesadaran praktisi program pengembangan masyarakat akan manfaat dan potensi strategis media dalam proses-proses perubahan sosial merupakan peluang sekaligus menempatkan media dalam titik krusialnya di tengah pengarus-utamaan penerapan teori pembangunan di tingkat negara. Fenomena penguasaaan media atas nama pembangunan nasional di berbagai negara telah memutar-balikkan gagasan komunikasi pembangunan yang seharusnya menjadi bagian dari upaya dialogis peningkatan kesejahteraan dan keadilan kaum marjinal dan miskin menjadi bagian dari masalah penyeragaman dan penumpulan prakarsa masyarakat. Media penyuluhan pertanian yang serentak, kaku dan melulu berorientasi pasar terbukti telah mengancam keanekaragaman jenis, sumber dan upaya ketersediaan pangan bagi kelompok-kelompok marjinal dan tingkat partisipasinya dalam suatu kesatuan masyarakat, serta kesehatan lingkungan hidup.

Telaah tentang komunikasi, media dan pembangunan yang singkat ini dimaksudkan hanya sebagai pengantar diskusi kita hari ini. Melalui pertukaran pengalaman lah, kita dapat lebih mengenali secara kritis inti dari topik kita ini bahwa, komunikasi pembangunan sesungguhnya adalah program komunikasi yang digagas untuk mendorong upaya-upaya penguatan yang sedang dikembangkan bersama kelompok-kelompok yang terpinggirkan menuju kehidupan yang lebih baik.

Komunikasi Pembangunan bukan komunikasi yang dibangun dari pandangan patron-klien, yang mengagung-agungkan sikap belas-kasihan yang sesungguhnya pada saat yang sama berarti merendahkan martabat kemanusiaan itu sendiri bahkan dapat merampas modal-dasar kita yakni, kedaulatan dalam menolong diri-sendiri.

Peran Media dalam Program Komunikasi Pembangunan
Cerita-cerita tentang bagaimana dampak pendayagunaan saluran radio di berbagai belahan dunia dalam penerapan metodologi komunikasi pembangunan menunjukkan adanya dampak penting akibat hubungan antara indera pendengaran, teknologi komunikasi audio, pengembangan media radio, bagi tindakan penguatan kelompok marjinal. Lalu bagaimana dengan indera penglihatan, perabaan, dan penciuman?

Bagaimana kita dapat mendayagunakan keberadaan indera-indera, saluran-saluran dan teknologi komunikasi, media, dan proses belajar yang berkesesuaian dengan keadaan kehidupan sehari-hari, keyakinan, kepercayaan dan kebiasaan dan harapan-harapan para pelakunya? Tentu berbagai pilihan cara dapat ditempuh. Salah satunya adalah memulainya dengan mengidentifikasi dan menerapkan fungsi-fungsi media dalam setiap kegiatan komunikasi pembangunan.

Identifikasi Kegunaan Media:
1. Memperlancar Proses Belajar;
2. Mempermudah Proses Belajar;
3. Memperkuat Proses Belajar;
4. Membuat Menarik dan Merangsang Proses Belajar;
5. Menumbuhkan Semangat Partisipasi dalam Proses Belajar.

Dari Komunikasi Searah ke Komunikasi Partisipatif
Dengan pemikiran demikian, komunikasi pembangunan ‘cara lama’ (tradisional) dimana peran agen pembangunan adalah sebagai ‘guru’ dan sumber informasi diganti menjadi sebagai fasilitator yang saling belajar dan saling bertukar informasi dengan masyarakat. Agen pembangunan juga bertugas untuk memperkenalkan sumber-sumber informasi lainnya agar masyarakat bisa mengakses. Diharapkan, lambat laun masyarakat mampu memfasilitasi dirinya sendiri dan memilih serta mencari informasi yang dibutuhkannya. Selain itu, menghargai kemampuan dan pengetahuannya sendiri.

Komunikasi yang demikian, dimana ‘orang luar’ dan masyarakat menjadi mitra belajar dan mitra diskusi, seringkali disebut sebagai komunikasi partisipatif, atau bahkan disebut juga sebagai komunikasi pembebasan (membebaskan masyarakat dari perasaan malu untuk berbicara, takut salah, rendah diri, dan sebagainya).

Modal Sosial dan Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat

Laporan Rapid Assessment Program Pengelolaan Sampah | Oleh Dwi Joko Widiyanto

”Yang tersisa di desa itu hanya puing-puing peralatan yang berkarat dan seonggok harapan yang telah lama ditinggalkan. Mesin sudah rusak, dan tidak pernah diperbaiki. Kelompok masyarakat sudah bubar dan kantor mereka penuh sarang laba-laba” (Roland Bunch dalam Two Earns of Corn: A Guide to People Centered Agricultural Improvement, 1982).

Itu adalah gambaran ironis tentang sebuah program yang dirancang tanpa memperhatikan modal sosial (social capital) masyarakat setempat. Modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerjasama diantara warga negara dan institusi mereka. Modal sosial mengacu pada hubungan diantara individu dan jaringan kerja sosial serta norma saling membutuhkan dan layak dipercaya yang timbul dari mereka. Untuk sementara waktu, biasanya ketika usia program masih muda, keterlibatan masyarakat akan tinggi.

Tetapi begitu program selesai, dan para pengelola tidak lagi mengendalikan program, masyarakat akan kembali ke habitatnya semula. Program biasanya berhenti total, dan masyarakat tidak sanggup menjaga keberlanjutan program. Ini banyak terjadi terutama pada program-program yang dilangsungkan pada masyarakat dengan ikatan sosial yang rentan.
Rapid assessment ini dilakukan untuk mengidentifikasi seberapa kuat modal yang bisa menjadi pengikat bagi masyarakat untuk mengelola program persampahan.

Rapid assessment dilakukan di 2 lokasi program, yaitu (1) Lingkungan 4, Kelurahan Kutopanji, Kecamatan Belinyu; dan (2) Lingkungan Parit Pekir, Kelurahan Sungai Liat, Kecamatan Sungai Liat.

Dominasi Non Pribumi
Lingkungan Empat, Kelurahan Kutopanji, Kecamatan Belinyu dihuni oleh sekitar 600 kepala keluarga atau 2700 jiwa. Lebih dari 90 % dari mereka adalah kelompok masyarakat non pribumi keturunan Cina. Mereka umumnya bekerja sebagai pedagang empek-empek, otak-otak, dan kerupuk.

Meskipun telah lama hidup di Kutopanji, dan beranak pinak hingga beberapa generasi, secara kultural mereka dianggap belum membaur dengan masyarakat setempat. Hubungan sosial dengan masyarakat setempat renggang. Jarang sekali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan secara sukarela. Mereka cenderung absen dalam kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti yang diselenggarakan secara rutin setiap hari Jumat. Mereka lebih suka membayar retribusi sampah atau mengupah kuli untuk ikut kerja bakti.

Seperti diakui oleh Camat Belinyu, problem persampahan di Kutopanji memang kompleks. Sebelum tahun 1998 misalnya, hampir setiap keluarga non pribumi memelihara babi di halaman belakang rumah-rumah mereka. Kebiasaan ini dirasakan mengganggu. Bukan hanya karena masyarakat setempat muslim dan meyakini babi sebagai binatang haram, tetapi bau kotoran babi merebak kemana-mana. Pemeliharaannya yang cenderung serampangan, membuat babi-babi ini berkeliaran di mana-mana. “Hati-hati berjalan di Lingkungan Empat, nanti bisa diseruduk babi”, begitu kesaksian beberapa warga.

Rozali, ketua lingkungan setempat, dan beberapa warga, menuturkan sulit membangun kebersamaan masyarakat. Ikatan sosial antar mereka sangat rentan. Tidak ada satupun kelompok masyarakat yang secara organik hidup di lingkungan ini, bahkan kelompok semacam Posyandu sekalipun. Bahkan, sebagaimana diakui oleh Rozali, lembaga-lembaga kemasyarakatan formal pun tidak berdaya mengikat mereka menjadi suatu komunitas yang solid bersama-sama dengan masyarakat pribumi.

Ketika sosialisasi program dilakukan, tidak lebih dari 10 orang warga yang hadir. Sebagian besar dari kelompok masyarakat non pribumi dan meninggalkan acara sebelum pertemuan selesai. Bahkan, sebagaimana dituturkan Rozali, kelompok pengelola sampah yang dibentuk khusus untuk mengelola program ini beranggotakan orang-orang yang berasal dari luar Lingkungan Empat.

Soliditas Sosial Masyarakat Nelayan
Berbeda dengan masyarakat Belinyu, Lingkungan Parit Pekir, Kelurahan Sungai Liat, Kecamatan Sungai Liat adalah sebuah komunitas nelayan. Lingkungan Parit Pekir dihuni hampir 800 kepala keluarga atau lebih dari 3000 jiwa. “Hampir sama dengan komposisi penduduk satu desa di Pulau Jawa, “ kata Darwanto, kepala lingkungan.

Komposisi penduduk di wilayah ini beragam, berasal dari Melayu, Bugis, Jawa dan Buton. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan. Tidak jauh dari lingkungan ini terdapat pelabuhan kecil, tempat pelelangan ikan, dan pasar senggol.

Corak dan karakteristik kultur kehidupan nelayan terlihat jelas. Mereka adalah komunitas yang sangat dinamis dengan ikatan sosial yang kuat. Minat dan antusiasme mereka terhadap program-program kemasyarakatan terlihat besar. Lebih dari 50 orang warga masyarakat hadir dalam pertemuan sosialisasi, bahkan sepertiga dari mereka adalah perempuan. Banyak organisasi kemasyarakatan hidup di lingkungan ini. Posyandu, kelompok pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kelompok arisan, PKK, dan kelompok nelayan.

Sosialisasi hampir tidak perlu waktu terlalu lama dan lebih lancar. Diskusi juga lebih terfokus kepada bagaimana program persampahan ini akan dikelola dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat setempat. Bahkan mereka sudah membentuk kelompok pengelola sampah. Ini tidak seperti pada diskusi di Kecamatan Belinyu yang masih berkisar kepada apa dan mengapa program persampahan.

Bagi sebagian masyarakat Parit Pekir, program persampahan juga bukan sebuah program yang asing. Kepala lingkungan Parit Pekir pernah mengikuti pelatihanpersampahan dan melakukan studi banding terhadap beberapa program pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kelompok ibu-ibu PKK juga pernah mengikuti pelatihan pengelolaan daur ulang sampah, bahkan telah terampil menghasilkan kerajinan berbahan dasar sampah plastik, dan sebagaian besar karya mereka telah dipamerkan dalam pameran yang diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup setempat.

Catatan Penutup dan Rekomendasi
Kebiasaan buang sembarangan dan bakar masih dilakukan oleh masyarakat di kedua lokasi program. Kesadaran mereka terhadap pengolahan sampah sama-sama masih rendah. Dibandingkan dengan Belinyu, Parit Pekir relatif memiliki modal sosial yang kuat yang memungkinkan mereka mengeksekusi program ini dengan derajat partisipasi yang besar. Masyarakat Parit Pekir juga sudah terterpa beragam informasi soal program semacam ini. Khusus di Belinyu, disarankan agar struktur kelompok pengolah sampah mengikuti komposisi penduduk, menggabungkan masyarakat pribumi dan non pribumi. Mungkin agak sulit, tetapi ini justru harus dilakukan untuk menembus kebekuan ikatan sosial dan memperkuat social capital yang rentan.

Program ini seharusnya memperhitungkan lansekap politik tata pemerintahan yang berlaku saat ini. Inisiator program ini adalah pemerintahan provinsi. Tetapi dalam tata pemerintahan otonomi, pemerintah provinsi tidak punya kaki hingga ke desa-desa. Pemegang otonomi adalah pemerintah kabupaten/kota. Jauh sebelum program ini dieksekusi, semestinya pemerintah provinsi membangun kesepahaman bersama, termasuk membahas siapa yang akan membiayai dan melanjutkan program ini setelah bantuan provinsi selesai. Sekarang masih menggantung pertanyaan, siapa yang akan mengeksekusi program ini ketika usia program selesai dan social capital masyarakat belum lagi kuat?

Bekerja Bersama Media Massa

Dwi Joko Widiyanto [Fasilitator jaringan pembelajaran untuk isu-isu literasi dan pendidikan nonformal di Studio Driya Media Bandung]

”Kehadiran wartawan bisa menutupi kelemahan pegiat LSM yang biasanya gagap mengemas isu-isu advokasi menjadi berita yang gampang dicerna publik. Sementara pergaulan rapat pegiat LSM dengan korban kebijakan publik dan kedalaman pemahaman mereka atas sebuah kasus, bisa mengisi kekurangan wartawan yang umumnya punya waktu terbatas dalam berinteraksi dengan korban”

Media massa dan LSM adalah paduan pas untuk menggerakkan perubahan, atau sekurang-kurangnya menggalang opini publik tentang sebuah gagasan perubahan. Ada seorang kawan yang secara berseloroh menyebut kolaborasi keduanya sebagai ramuan ”racun mematikan”. Keduanya, kata Martin Shaw dalam bukunya Global Voice: Civil Society and Media in Global Crisis (1999) ibarat ikan dan air dalam sebuah masyarakat demokratis.

Kolaborasi itu sebenarnya sangat mungkin dilakukan, karena keduanya punya watak dan sumberdaya yang hampir serupa. Media massa berperan menyampaikan suara publik melalui pemberitaan dan informasi. LSM membela publik, terutama mereka yang terpinggirkan, melalui berbagai aktivitas pendampingan, pendidikan kritis dan advokasi. Media massa punya wartawan dengan daya cium tajam untuk mengendus isu-isu kebijakan yang merugikan publik. LSM punya pendamping dan fasilitator lapangan yang dekat dengan para korban; mereka adalah orang pertama yang mengantongi fakta-fakta, data, dan informasi tentang korban sebuah kebijakan publik.

Wartawan bisa menutupi kelemahan pegiat LSM yang biasanya kurang terampil mengemas isu-isu advokasi menjadi berita yang gampang dicerna publik. Sementara pergaulan rapat pegiat LSM dengan korban dan kedalaman pemahaman mereka atas sebuah kasus, bisa mengisi kekurangan wartawan yang umumnya punya waktu terbatas dalam berinteraksi dengan korban. Relatif tidak ada halangan jika di lapangan, kedua orang ini, wartawan dan pegiat LSM bersama-sama melakukan satu investigasi untuk membongkar borok sebuah kebijakan publik tertentu.

Advokasi Kebijakan Tak Populer

Tetapi kolaborasi sungguh-sungguh antara kedua institusi ini masih jarang terjadi. Kecuali pada kasus-kasus advokasi dengan nilai jual berita yang besar seperti pemberantasan korupsi misalnya, pengamatan sementara terhadap liputan media massa, menemukan berita-berita tentang advokasi kebijakan yang digagas LSM masih sangat minim dan sporadis.

Pertemanan LSM dan media massa lebih merupakan pertemanan pasif, seringkali tidak lebih dari sekedar yang satu mengirim pers rilis dan yang satunya lagi memuatnya. Jarang terjadi wartawan dan LSM bekerja bersama mendalami sebuah gagasan perubahan kebijakan publik lalu mengangkatnya menjadi sebuah berita yang komprehensif dan mendalam. Ini menjelaskan mengapa berita tentang gagasan perubahan kebijakan bisa muncul hari ini, tapi keesokan harinya menguap dilibas berita perselingkuhan selebritis atau pertikaian politisi.

Seorang redaktur koran besar di Kupang mengeluh di hadapan aktivis lingkungan, ”Saya menerjemahkan berita tentang banjir di Kupang justru dari media luar negeri. Mana berita-berita lingkungan dari kalian?” Sebaliknya, seorang aktivis lingkungan di Jambi bercerita, ”Wartawan itu memang cepat sekali bekerja, tapi seringkali beritanya cuma di permukaan, tidak mendalam”.

Agaknya, meskipun punya banyak kesamaan pandang tentang kebijakan atau peristiwa publik, selera aktivis LSM dan wartawan berbeda. ”Ada 50 bayi busung lapar mati karena terlambat ditangani Puskesmas” adalah kejadian yang lebih gampang diliput media massa daripada ”perbaikan kualitas layanan kesehatan”. ”Ada korupsi dalam penyaluran alokasi dana desa” dipandang lebih bernilai berita daripada pernyataan LSM tentang ”perubahan kebijakan pengelolaan keuangan desa”. Seandainya tidak ada Ketua DPRD Sumut yang mati menjadi korban demonstrasi massa menuntut dibentuknya Provinsi Tapanuli Selatan, belum tentu isu ”penghentian pemekaran wilayah” ramai diliput wartawan dan diperbincangkan publik.

Pegiat LSM lebih menyukai pernyataan, berbeda dengan media massa yang lebih tertarik kepada kenyataan. Aktivis LSM lebih senang bicara apa yang seharusnya terjadi sementara wartawan lebih mudah menulis apa yang sebenarnya terjadi, berapa banyak orang, dan seberapa seksi sebuah peristiwa. Dampak langsung dan berapa korban yang berjatuhan akibat penerapan kebijakan publik lebih menarik buat wartawan, tinimbang seluk-beluk persoalan perbaikan kebijakan itu sendiri.

Advokasi dari Meja ke Meja

Dalam sebuah masyarakat transisi yang tata dan struktur pemerintahannya masih sedang tumbuh, peraturan atau kebijakan lebih sering diposisikan sebagai instrumen rekayasa sosial (a tool of social engineering). Kebijakan lebih banyak dibuat karena memang harus dibuat untuk memberi panduan bagi perubahan, bukan dibuat sebagai respon terhadap keadaan tertentu.

Porsi terbesar pengaturan dalam kebijakan yang demikian lebih sering berupa langkah antisipatif terhadap hal-hal yang belum tetapi mungkin terjadi. Karena itu dasar-dasar pemikiran atau latar belakang kebijakan lebih banyak berisi abstraksi hasil-hasil riset maupun eksplorasi pemikiran pegiat advokasi baik LSM, akademisi, atau pakar.

Tetapi wartawan membutuhkan cerita kongkret tentang dampak. Jika ada sebuah isu perubahan kebijakan publik, hal pertama yang ditanyakan wartawan adalah seberapa besar perubahan itu berdampak buat orang kebanyakan, bukan gagasan dan pemikiran. Itu sebabnya tema-tema advokasi yang kaya dengan pemikiran seperti ”perbaikan layanan publik”, ”perubahan kebijakan pengelolaan desa”, ”penghentian pemekaran wilayah”, atau ”perbaikan relasi DPRD dan kepala daerah” misalnya, adalah tema-tema yang ”kering” dan cenderung sulit dikemas menjadi wacana yang gampang diterima telinga publik.

Proses penyusunan kebijakan adalah proses teknokratis di tubuh lembaga pemerintahan dan proses politik dalam parlemen. Proses ini lebih membutuhkan kompetensi riset, penyusunan naskah akademik, pembuatan policy paper, lobby dan negosiasi. Karena itu arena advokasi kebijakan hampir selalu terjadi dalam ruang-ruang tertutup gedung parlemen, biro-biro pemerintahan, alias dari meja ke meja.

Pendekatan advokasi lebih lembut, dalam suasana yang serba steril dan dingin. Jarang sekali aktivitas advokasi kebijakan mengandalkan voice, berlangsung secara hingar bingar melibatkan demonstrasi massa. Tapi kita tahu pemikiran-pemikiran dingin berjangka panjang dan riset tidak gampang dijual, apalagi dalam sebuah masyarakat yang gandrung kepada hiburan dan kultur media massa yang didominasi kepentingan industri.

Branding LSM yang Tidak Jelas

Lahirnya kebijakan desentralisasi dan perubahan tata pemerintahan, sedikit banyak mempengaruhi visi dan cara kerja LSM. Tema good governance, partisipasi publik, akuntabilitas, transparansi menjadi tema-tema yang laku keras. Bahkan banyak lembaga yang sebelumnya bergerak pada isu-isu spesifik di tingkat komunitas dengan program community development tiba-tiba berubah haluan.

Beberapa orang wartawan yang penulis wawancarai mengaku sulit mencari narasumber terpercaya dari kalangan LSM untuk sebuah berita tentang perubahan kebijakan. Bukan karena kekurangan, tetapi justru karena begitu banyak narasumber yang tak punya rekam jejak yang jelas. ”Jaman dulu hanya ada YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), sekarang lembaga bantuan ada di mana-mana”, kata mereka. Kesulitan ini membuat banyak wartawan mengggunakan narasumber dan news maker yang itu-itu juga.

Bekerja di luar medan yang sudah lama digelutinya membuat banyak LSM gagap bersuara. Kuantitas karya-karya LSM memang terasa meningkat, terutama dalam bentuk buku-buku tentang good practices, modul atau panduan-panduan peningkatan kapasitas masyarakat. Kuat dugaan, meskipun masih harus dibuktikan kebenarannya, bahwa karya-karya LSM dalam bentuk buku –yang oleh gurauan seorang aktivis Solo disebut sebagai jalan pintas pemberdayaan masyarakat, lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan karya-karya kongkret mereka di lapangan.

Tetapi ada kontradiksi dalam karya-karya itu. Jika ditelisik lebih mendalam, karya-karya mereka lebih memberi tempat kepada kerangka pikir, strategi atau metode kerja mereka sendiri daripada fakta-fakta tentang keberhasilan suatu komunitas yang didampinginya.

Korban kebijakan adalah news maker, dan kesaksian mereka harus dikedepankan. Tetapi kesaksian-kesaksian korban sering dibekukan begitu rupa menjadi pernyataan-pernyataan abstrak yang kehilangan daya gugahnya. Akibatnya buku maupun naskah press release yang mereka buat cenderung kaya pernyataan, tetapi miskin data atau kesaksian nyata komunitas yang bisa membuktikannya. Seorang kawan wartawan di Bandung mengaku, ”Malas menghadiri konferensi pers LSM Anu, sebab data-datanya justru mereka kutip dari liputan-liputan koran kita.”

Rupanya medan pertarungan advokasi kebijakan yang lebih banyak membutuhkan debat dan kekuatan argumentasi, tidak diimbangi dengan kemampuan mereka mengelola data dan pengetahuan yang memadai.

Libatkan Media Sejak Awal

Kerjasama TV dan LSM Lingkungan

Sebuah LSM lingkungan yakni WWF Indonesia pernah bekerjasama dengan RCTI dan Trans TV untuk mengembangkan peliputan bersama. Kerjasama ini mudah dan tak berbiaya mahal. WWF Indonesia, misalnya, telah memiliki banyak proyek lingkungan yang digarapnya di berbagai di berbagai wilayah Indonesia. RCTI dan Trans TV diajak untuk meliput proyek lingkungan itu. Hasilnya ditayangkan kemudian dalam program yang sudah ada (News), tanpa perlu membuat program lingkungan tersendiri.

Dalam kerjasama ini, LSM lingkungan menyediakan akomodasi, berupa transportasi dan penginapan untuk 2-3 awak televisi, selama 3-4 hari di lokasi proyek.
Kalau liputannya di hutan, tentu tak perlu menginap di hotel. Itu sudah cukup memadai. Awak TV tidak perlu diberi uang lagi, karena mereka sudah digaji oleh kantornya dan peliputan ini merupakan tugas dari produser, bukan proyek liar reporter/camera-person.

LSM lingkungan juga menyiapkan narasumber untuk diwawancarai (ini mudah, karena memang proyek garapan mereka sendiri), dan informasi lain yang terkait dengan proyek bersangkutan. Ini mudah karena memang proyek garapan mereka sendiri. Dalam kasus kerjasama WWF Indonesia dan Trans TV, proyek yang telah ditayangkan adalah pelestarian terumbu karang di wilayah Ujungkulon, Jawa Barat. Dalam kerjasama ini, Trans TV mendapat “bonus”, karena bisa menayangkan juga keindahan pantai di Ujungkulon sebagai daerah wisata potensial dalam segmen Wisata di Berita Trans Petang, meski program ini semula bukan bagian dari kerjasama dengan WWF Indonesia.

(Dikutip dari Satrio Arismunandar, 2004)

Untuk merebut dukungan publik, memberitakan secara terus-menerus dan mendalam sebuah isu advokasi melalui media massa adalah satu-satunya peluang yang paling murah. Seperti tergambar dalam kotak kasus di atas, berkolaborasi dengan media massa, dan bersama-sama mereka ”membuat” berita sangat mungkin dilakukan.

”Jangan kalian pikir bahwa wartawan itu selalu pintar”, begitu pernyataan seorang rekan jurnalis. Wartawan pada dasarnya adalah seorang generalis. Seseorang yang tahu serba sedikit tentang hal-hal yang banyak. Mereka punya perhatian yang luas dan tidak spesifik. Atmosfer kerjanya sebagai pewarta membuat mereka harus menyiapkan panca indera untuk meliput apa saja yang terjadi.

Jadi berhentilah melibatkan media massa hanya sebagai penggembira. Ikutsertakan dan undang wartawan sejak rencana advokasi dirancang. Siapkan press kit berisi data-data dan informasi sesederhana dan selengkap mungkin agar mereka memiliki pemahaman yang menyeluruh atas sebuah isu kebijakan publik, latar belakang dan kemungkinan dampaknya. Ajaklah mereka mengunjungi para korban, dan sediakan narasumber terpercaya untuk itu.

Sebuah konsorsium LSM lingkungan di Nusa Tengggara Timur melibatkan media massa lokal dalam advokasi penyelamatan Kawasan Mutis Timau. Mereka melakukan barter informasi: LSM mengajak wartawan mengunjungi ke lokasi-lokasi rawan di kawasan, dan wartawan melatih aktivis tentang cara-cara menulis dan mengemas informasi tentang lingkungan hidup yang layak muat.

Farid Gaban, seorang wartawan senior bilang, jurnalisme terlalu penting untuk diserahkan hanya kepada wartawan. Jurnalisme, yang disebutnya sebagai metode atau disiplin verifikasi, bukan cuma pekerjaan wartawan. Setiap orang tanpa kecuali adalah pewarta. Penting bagi pegiat LSM untuk belajar mengumpulkan data, mengolah, dan mengemasnya menjadi tulisan-tulisan populer semenarik tulisan wartawan. Sebaliknya dibutuhkan lebih dari sekedar wartawan, seorang wartawan yang mau menekuni satu isu kebijakan publik tertentu, dan menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih ”memihak” (advocacy writing).

driyamedia profile


Studio Driyamedia (SDM) is the operational body of Bumi Manira Foundation which has been legally established in 1987, as a non-profit organization providing support and services to other development agencies in Indonesia.

SDM Vision...
  • Development activities are a continuous effort to achieve justice and prosperity for all Indonesian citizens;
  • However those efforts have not touched all members of the community evenly; there are still many segments of the community who are living in deprivation, both physically and in terms of the fulfillment of their basic rights as citizens and human beings;
  • Development should reflect and be directed at the realization of universal principles of justice, basic human rights, democracy, and community participation, within the limits of the environmental carrying capacity considering its preservation, and fulfilling the aspirations and needs of the community in the present and the future;
  • Presently there are still many development policies and activities, which lack consideration, or even, totally neglect, those ideals and principles;
  • There are still many development agencies, which event though subscribes to those ideals and principles are constrained in its realization by the lack of insight, knowledge, and technical expertise’s, especially in terms of their approach to the development programs;
  • To realize those ideals and principles cooperation between all the parties - government, commercial and non-profit agencies, community organizations, educational and research institutions, in Indonesia is needed;
  • And since all those problems are related to issues of humanity and field of activities that transgress national boundaries, cooperation should be developed not only nationally, but also regionally and internationally.
SDM Mission...
Based on our vision, Studio Driyamedia is developed as a nongovernmental,
non-profit agencies, which...
  • Provides services and support to development agencies - especially to those agencies which are committed to the marginal groups/segments of the society which are still deprived of their basic human rights - in efforts to increase and improve their capacity to serve the communities they working with more effectively through appropriate and participatory approaches and development communication methodologies. Those services and support could be provided through consultation, training, development of educational media, and operational cooperation at the field level.
  • Provides input to policy formulation and planning of development activities (especially at the operational level - program and projects - but not limited at that level) that benefit all groups/segments of the community, especially the marginal groups/segments - through
    consultation, study/research, publication, and advocacy.
  • In providing its services, SDM will work in solidarity with and develop cooperation with development agencies (Government and NGO) in Indonesia, within the region (Southeast Asia) and Internationally.
  • Works professionally without discrimination against any individual, agency or social group based on ethnicity, religious, race, social standing, political affiliation, gender, age, handicap.
  • Develops its staff in order that they are capable of working professionally according to the agency’s vision and mission, continuously and at an optimal level through staff development activities and efforts to fulfill their basic needs at an adequate level.
  • Considers the legally obtained resources of the agency as resources entrusted to the agency by the community and utilize and manage those resources in a responsible way according to the agency’s vision and mission.
SDM Services...
SDM is service agency, which provides services in development communication methodology and educational media to various development agencies. Our expectation is that through better communication methodologies and media, the effectiveness of the services will increase and the communities will benefit more. Some of the services we provide for these purposes are:

Media Development:
Media development is the core of our activities. We have developed various kinds of media for many diverse agencies, and for many different purposes. This kind of media we work on includes:
  • Media for Extension: informational and instructional media on various topics according to the needs of the communication.
  • Community Communication Media: Media is stimulating discussion in the contexts of participatory education and communication within the community; usually reflective media to raise people’s awareness on issues relevant to their community.
  • Media for Training: Instructional media and handouts for structured
    trainings on various topics for development workers at various levels.
  • Reference Materials for Development Workers: Manual, Handbooks,
    Brochures, and Discussion Paper relevant to the informational needs of
    development workers at various levels.
  • Media in support of Networks: Newsletters and promotional brochures for
    network members;
  • Editing and Graphic Design Services: Incidental assistance in editing and/
    or designing publications.
Training
SDM also provides training, mostly structured trainings and internships. We do not have standardized training package but adjust the training designs to the specific program needs and the needs of the participants. The different kinds of trainings we have provided so
far are on:
  • Community Development Methodologies: especially on methods for inquiry and planning with the participation of communities (Participatory Rural/Rapid Appraisal or PRA);
  • Gender Analysis: in program planning and development, Basic concepts of gender and methods to incorporate it into program planning;
  • Basic Concepts in Development Communication: overview of extension/non-formal education methodologies with a focus on the communication aspects;
  • Development of Communication Media: development of various formats of educational media;
  • Technical Skills for Media Development: such as Visual Design, Desktop Publishing, and Photography;
  • The use of media: how to use various formats of media according to its purpose.
Consultation
  • Assistance in the application of participatory assessment methods in program planning and evaluation;
  • Planning of communication components in various programs;
  • Assessment and evaluation of programs;
  • In partnership: we like to work in on-going partnership and cooperation with the agencies requesting our services, and not merely in the contexts of “client-provider” relationships;
  • Through network: many of our activities are in the support of networks of agencies rather than limited for individual agencies. This enables us to have an impact that is not limited to area specific programs.
Network Facilitation
Many of our activities are also in the support and running of networks collaboration of agencies. This enables us to support the network by developing:
  • Collaborative media;
  • Publication: Guide Book, Good Practices Documentation,
  • Multi-stakeholders meeting and workshop;
  • Information network: Web site, Milling List, Bulletin,
  • Collaborative action research on shared learning site,
  • Collaborative planning and monitoring evaluation
  • Collaborative planning and monitoring evaluation
  • Participative facilitators networking,
  • Participative facilitators networking,
  • Network financial and program management.
SDM Working Area...
In its 21 years of existence SDM has worked together with various partner agencies in various provinces in Indonesia. More recently we have been involved in Nusa Tenggara Area Community Development Consortium in eastern Indonesia. On a limited scale we have carried out some work the neighboring countries Vietnam, the Philippines, Laos, Cambodia, and Thailand.

SDM work...
  • Based on request/expressed needs: As we are mostly a service agency most of the program and projects we are involved in are based on requests of the agencies responsible for the overall program.
  • Within programmatic context: Since media development and training projects will only be effective when they are part of a well designed program, we try to always approach those activities within the larger framework of the development program they are part off.
  • Selective: considering the above-mentioned program context and our own limitations, we necessarily have to be selective in the programs and projects we take on.