Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam

Ilya Moeliono

Luas hutan menyusut drastis karena pemanfaatan yang berlebihan, sengketa memperebutkan lahan dan sumber-sumber air antar berbagai kelompok masyarakat merebak di banyak tempat, erosi berlanjut, kesuburan tanah-tanah pertanian menurun, pendangkalan dan pelumpuran sungai, dan pencemaran lingkungan di perkotaan, adalah bukti kondisi sumberdaya alam dasar (resource base) kita sudah sangat kritis.

Sebenarnya tidak sedikit program konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sudah dikerjakan, baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Tetapi yang nyata-nyata bisa dilihat di lapangan saat ini adalah program-program tersebut tidak sanggup mengimbangi kerusakan yang melaju cepat dan intens. Terlihat bahwa sumberdaya alam yang rusak bukan sekedar persoalan yang bisa diselesaikan dengan solusi teknis semacam penghijauan yang selama ini menjadi kerja-kerja dominan program konservasi. Menjadi penting untuk memeriksa kembali kelayakan model-model dan paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini digunakan.

Dua Paradigma

Kita mengenal dua model pengelolaan sumberdaya alam, yakni pengelolaan sumberdaya alam oleh negara dan oleh masyarakat. Model pertama, negara adalah aktor utama yang menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Sebagaimana disebut dalam konstitusi, pemanfaatan dan pengelolaan tersebut ditujukan untuk ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Yang terjadi di lapangan, negara memang membuat berbagai kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan, tetapi kebijakan yang paling dominan adalah memberi hak penguasaan atas sumberdaya alam pada perusahaan. Celakanya pula perusahaan-perusahaan ini beroperasi dengan orientasi jangka pendek atau sebatas masa operasi dan jabatan pihak-pihak yang bersang­kutan. Kebijakan tersebut untuk sebagian besar juga tidak dipatuhi, dan dalam banyak kasus negara tidak sanggup menegakan kebijakan yang dibuatnya sendiri.

Model kedua adalah pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. Model ini bekerja dengan asumsi bahwa masyarakat, karena sejarah, mempunyai hak adat atau hak ulayat atas sumberdaya alam di wilayahnya. Masyarakat mempunyai budaya konservasi, dan tinggal di lokasi sumberdaya alam berada. Karena penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam tersebut, pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat dianggap lebih bertanggungjawab.

Anggapan tersebut tidak serta merta benar. Memang masyarakat adat sudah ada jauh sebelum adanya negara, tetapi pada jaman itu hak-hak atas sumberdaya alam tidaklah didefinisikan dengan tepat, dan ketika itu memang hal itu belum diperlukan. Di berbagai daerah, kelembagaan tradisional dalam penge­lolaan sumberdaya alam telah melemah. Banyak budaya konservasi dan kearifan tradisonal telah terlupakan dan tidak dipahami lagi. Berbagai larangan adat yang masih diketahuipun sudah banyak tidak dipatuhi lagi.

Kalaupun beberapa komunitas telah memiliki budaya konservasi, ternyata budaya itu lahir karena keadaan yang memang tidak me­mungkin­kan masya­rakat mengekploitasi sumberdaya alam secara intensif. Teknologi yang di­miliki masih sangat ter­batas, organisasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam masih sederhana, dan pasar yang lebih luas tidak ada. Di banyak komunitas seperti ini, banyak warga masyarakat telah belajar untuk mengelola sumberdaya alam dengan berorientasi ekonomis-produktif jangka pendek pula.

Prasyarat Demokratisasi

Dua model pengelolaan sumberdaya alam tersebut punya keterbatasan. Model pertama gagal karena pemerintah tidak kuasa menegakkan kebijakan. Model kedua bermasalah karena asumsi dan klaim-klaim adat yang meragukan. Akibatnya secara de facto sumberdaya alam itu menjadi apa yang disebut sebagai “sumberdaya alam bebas” (open access resource). Dia bebas dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja, dalam jumlah berapa saja tanpa kontrol dan regulasi. Ungkapan sederhana yang berlaku adalah: “Kalau bukan saya yang mengambilnya hari ini, pasti orang lain yang akan mengambilnya besok”.

Kompetisi eksplotasi itu memuncak pasca Orde Baru, dan belum mereda hingga hari ini ketika kemampuan pemerintah untuk me­negakan aturan pengelolaan sumberdaya alam melemah. Kelemahan ini di­manfaat­kan seba­gian masyarakat untuk mengambil berbagai sumberdaya alam, terutama kayu dan lahan di kawas­an hutan, secara tidak terkendali dan di luar semua aturan. Sayangnya masyarakat juga hanya kuat menguasai sumberdaya alam, tetapi belum memadai untuk mengelolanya secara berkelanjutan.

Jalan keluar dari kemacetan dua model pengelolaan itu ditawarkan oleh Elinor Ostrom dalam bukunya Governing The Coomons: The Evolutions of Institutions for Collective Action (1990). Praktisi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia menyebut model Elinor Ostrom ini sebagai model pengelolaan sumberdaya alam berbasis komunitas (community based natural resources management). Inti gagasan model ini adalah membatasi penggunaan sumberdaya alam supaya tidak melampaui daya dukungnya.

Ada beberapa prasyarat yang diajukan Elinor Ostrom untuk mengoperasikan model ini. Pada tataran komunitas perlu ada penentuan batas-batas hak pengelolaan sumberdaya alam bagi anggota komunitas pemanfaat sumberdaya alam itu maupun komunitas-komunitas lain di sekitarnya dalam wilayah yang sama. Komunitas harus memiliki aturan dan kelembagaan pengelolaan yang jelas yang mampu secara efektif mencegah, membatasi, atau mengatur pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak-pihak dari luar komunitas pengelolaan sumberdaya alam yang bersangkutan.

Dalam model ini, regulasi pengelolaan sumberdaya alam oleh negara tetap diperlukan. Tetapi fungsi regulasi ini tidak merambah masuk ke dalam batas kewenangan unit-unit pengelolaan sumberdaya alam di tingkat komunitas. Negara harus pula melindungi hak-hak komunitas terhadap kemungkinan intervensi pengelolaan yang mungkin dilakukan oleh pihak-pihak di luar komunitas yang bersangkutan. Pengelolaan sumberdaya alam langsung oleh negara juga masih diperlukan, tetapi dibatasi hanya pada sumberdaya alam yang benar-benar diluar kemampuan masyarakat mengelolanya.