Kilas Balik Komunikasi Pembangunan


Di penghujung tahun 60-an, ilmu komunikasi mencatat perkembangan menarik ketika kalangan jurnalis menerapan teori dan konsep komunikasi untuk keperluan penyeleng­garaan program pembangunan. Mereka menyebutnya Jurnalisme Pembangunan. Cikal-bakal lain yang mendorong tumbuhnya metodologi ini di wilayah Asia Tenggara adalah ketika mulai dikembangkannya mata studi Komunikasi Pertanian di University of Philippine, Los Banos. Belakangan, istilah-istilah untuk menyebut program ini pun mulai beragam seperti, Komunikasi Penunjang Pembangunan (Development Support Communication), Pengiklanan Pembangunan (Development Advertising), dsb.

Program komunikasi yang tumbuh di berbagai kalangan dengan sebutan yang berbeda-beda tersebut, jika dikaji keterpautannya satu sama lain, dapat dimaknai sebagai: “Suatu pencarian bersama tentang isi, dan metode komunikasi yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat miskin yang berjuang menuju suatu kehidupan yang lebih baik” (Quebral,1986).
Sebagai suatu cabang ilmu, Komunikasi Pembangunan berpangkal dari: Teori-teori pembangunan, komunikasi massa, penyuluhan pertanian, pendidikan, dan ilmu-ilmu dasar seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, dan antropologi.

Meskipun Komunikasi Pembangunan tidak pernah disebut-sebut di kalangan LSM, kegiatan pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan penerapan dari komunikasi pembangunan. Hal ini dapat diamati bahwa dalam praktiknya LSM selalu menyertakan tindakan komunikasi dan penggunaan media, atau menyebut penyuluhan, pengembangan masyarakat, pendidikan non-formal, pendidikan luar-sekolah, pendidikan kritis, pendidikan orang-dewasa, advokasi, sosialisasi, konsultasi publik, kampanye, demokratisasi, dsb.
Juga istilah-istilah seperti: Belajar sambil Bekerja, Magang, Perencanaan Partisipatif, Belajar dari Pengalaman, Lokakarya, Pelatihan, Kunjungan-silang, Jaringan Kerjasama, Diskusi Kelompok, Penyuluhan sesama, dsb.

Media dan Komunikasi Pembangunan
Pada gilirannya, semua teknologi saluran dan media hampir tidak ada yang tidak pernah digunakan (setidaknya pernah dipertimbangkan) dalam program pengembangan masyarakat, dari komunikasi tatap-muka, kelompok hingga massa, melalui media cetak elektronik, hingga multi-media. Bahkan lembaga-lembaga yang mengembangkan program pelatihan sampai perlu membentuk unit pengembangan media pelatihan sendiri.

Lembaga-lembaga yang mendukung program komunikasi pembangunan pun dalam perkembangannya mulai melintasi batas negara ketika problem-problem pembangunan tidak lagi dipandang sebagai masalah dalam negeri tetapi masalah manusia dan kemanusiaan. Perubahan pandangan ini diduga ada kaitan erat dengan media radio, yang memang memiliki kelenturan-kelenturan antara lain kelebihan dalam hal daya-jangkau, murah dalam pembiayaan pembangunan instalasi dan pengelolaan prosesnya, dan mudah diakses. (Komunikasi pembangunan diduga telah dimulai di kalangan praktisi program radio jauh sebelum istilah ini menjadi wacana global. Tiga stasiun radio nasional di Kanada pada tahun 1941 membentuk Forum Radio untuk mendukung pertukaran informasi dan pengalaman bagi kalangan petani Kanada).

Media dan Pergeseran Paradigma Pembangunan
Tumbuhnya kesadaran praktisi program pengembangan masyarakat akan manfaat dan potensi strategis media dalam proses-proses perubahan sosial merupakan peluang sekaligus menempatkan media dalam titik krusialnya di tengah pengarus-utamaan penerapan teori pembangunan di tingkat negara. Fenomena penguasaaan media atas nama pembangunan nasional di berbagai negara telah memutar-balikkan gagasan komunikasi pembangunan yang seharusnya menjadi bagian dari upaya dialogis peningkatan kesejahteraan dan keadilan kaum marjinal dan miskin menjadi bagian dari masalah penyeragaman dan penumpulan prakarsa masyarakat. Media penyuluhan pertanian yang serentak, kaku dan melulu berorientasi pasar terbukti telah mengancam keanekaragaman jenis, sumber dan upaya ketersediaan pangan bagi kelompok-kelompok marjinal dan tingkat partisipasinya dalam suatu kesatuan masyarakat, serta kesehatan lingkungan hidup.

Telaah tentang komunikasi, media dan pembangunan yang singkat ini dimaksudkan hanya sebagai pengantar diskusi kita hari ini. Melalui pertukaran pengalaman lah, kita dapat lebih mengenali secara kritis inti dari topik kita ini bahwa, komunikasi pembangunan sesungguhnya adalah program komunikasi yang digagas untuk mendorong upaya-upaya penguatan yang sedang dikembangkan bersama kelompok-kelompok yang terpinggirkan menuju kehidupan yang lebih baik.

Komunikasi Pembangunan bukan komunikasi yang dibangun dari pandangan patron-klien, yang mengagung-agungkan sikap belas-kasihan yang sesungguhnya pada saat yang sama berarti merendahkan martabat kemanusiaan itu sendiri bahkan dapat merampas modal-dasar kita yakni, kedaulatan dalam menolong diri-sendiri.

Peran Media dalam Program Komunikasi Pembangunan
Cerita-cerita tentang bagaimana dampak pendayagunaan saluran radio di berbagai belahan dunia dalam penerapan metodologi komunikasi pembangunan menunjukkan adanya dampak penting akibat hubungan antara indera pendengaran, teknologi komunikasi audio, pengembangan media radio, bagi tindakan penguatan kelompok marjinal. Lalu bagaimana dengan indera penglihatan, perabaan, dan penciuman?

Bagaimana kita dapat mendayagunakan keberadaan indera-indera, saluran-saluran dan teknologi komunikasi, media, dan proses belajar yang berkesesuaian dengan keadaan kehidupan sehari-hari, keyakinan, kepercayaan dan kebiasaan dan harapan-harapan para pelakunya? Tentu berbagai pilihan cara dapat ditempuh. Salah satunya adalah memulainya dengan mengidentifikasi dan menerapkan fungsi-fungsi media dalam setiap kegiatan komunikasi pembangunan.

Identifikasi Kegunaan Media:
1. Memperlancar Proses Belajar;
2. Mempermudah Proses Belajar;
3. Memperkuat Proses Belajar;
4. Membuat Menarik dan Merangsang Proses Belajar;
5. Menumbuhkan Semangat Partisipasi dalam Proses Belajar.

Dari Komunikasi Searah ke Komunikasi Partisipatif
Dengan pemikiran demikian, komunikasi pembangunan ‘cara lama’ (tradisional) dimana peran agen pembangunan adalah sebagai ‘guru’ dan sumber informasi diganti menjadi sebagai fasilitator yang saling belajar dan saling bertukar informasi dengan masyarakat. Agen pembangunan juga bertugas untuk memperkenalkan sumber-sumber informasi lainnya agar masyarakat bisa mengakses. Diharapkan, lambat laun masyarakat mampu memfasilitasi dirinya sendiri dan memilih serta mencari informasi yang dibutuhkannya. Selain itu, menghargai kemampuan dan pengetahuannya sendiri.

Komunikasi yang demikian, dimana ‘orang luar’ dan masyarakat menjadi mitra belajar dan mitra diskusi, seringkali disebut sebagai komunikasi partisipatif, atau bahkan disebut juga sebagai komunikasi pembebasan (membebaskan masyarakat dari perasaan malu untuk berbicara, takut salah, rendah diri, dan sebagainya).