Modal Sosial dan Keberlanjutan Program Pengembangan Masyarakat

Laporan Rapid Assessment Program Pengelolaan Sampah | Oleh Dwi Joko Widiyanto

”Yang tersisa di desa itu hanya puing-puing peralatan yang berkarat dan seonggok harapan yang telah lama ditinggalkan. Mesin sudah rusak, dan tidak pernah diperbaiki. Kelompok masyarakat sudah bubar dan kantor mereka penuh sarang laba-laba” (Roland Bunch dalam Two Earns of Corn: A Guide to People Centered Agricultural Improvement, 1982).

Itu adalah gambaran ironis tentang sebuah program yang dirancang tanpa memperhatikan modal sosial (social capital) masyarakat setempat. Modal sosial mengacu pada norma dan jaringan kerja masyarakat sipil yang melicinkan tindakan kerjasama diantara warga negara dan institusi mereka. Modal sosial mengacu pada hubungan diantara individu dan jaringan kerja sosial serta norma saling membutuhkan dan layak dipercaya yang timbul dari mereka. Untuk sementara waktu, biasanya ketika usia program masih muda, keterlibatan masyarakat akan tinggi.

Tetapi begitu program selesai, dan para pengelola tidak lagi mengendalikan program, masyarakat akan kembali ke habitatnya semula. Program biasanya berhenti total, dan masyarakat tidak sanggup menjaga keberlanjutan program. Ini banyak terjadi terutama pada program-program yang dilangsungkan pada masyarakat dengan ikatan sosial yang rentan.
Rapid assessment ini dilakukan untuk mengidentifikasi seberapa kuat modal yang bisa menjadi pengikat bagi masyarakat untuk mengelola program persampahan.

Rapid assessment dilakukan di 2 lokasi program, yaitu (1) Lingkungan 4, Kelurahan Kutopanji, Kecamatan Belinyu; dan (2) Lingkungan Parit Pekir, Kelurahan Sungai Liat, Kecamatan Sungai Liat.

Dominasi Non Pribumi
Lingkungan Empat, Kelurahan Kutopanji, Kecamatan Belinyu dihuni oleh sekitar 600 kepala keluarga atau 2700 jiwa. Lebih dari 90 % dari mereka adalah kelompok masyarakat non pribumi keturunan Cina. Mereka umumnya bekerja sebagai pedagang empek-empek, otak-otak, dan kerupuk.

Meskipun telah lama hidup di Kutopanji, dan beranak pinak hingga beberapa generasi, secara kultural mereka dianggap belum membaur dengan masyarakat setempat. Hubungan sosial dengan masyarakat setempat renggang. Jarang sekali mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan secara sukarela. Mereka cenderung absen dalam kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti yang diselenggarakan secara rutin setiap hari Jumat. Mereka lebih suka membayar retribusi sampah atau mengupah kuli untuk ikut kerja bakti.

Seperti diakui oleh Camat Belinyu, problem persampahan di Kutopanji memang kompleks. Sebelum tahun 1998 misalnya, hampir setiap keluarga non pribumi memelihara babi di halaman belakang rumah-rumah mereka. Kebiasaan ini dirasakan mengganggu. Bukan hanya karena masyarakat setempat muslim dan meyakini babi sebagai binatang haram, tetapi bau kotoran babi merebak kemana-mana. Pemeliharaannya yang cenderung serampangan, membuat babi-babi ini berkeliaran di mana-mana. “Hati-hati berjalan di Lingkungan Empat, nanti bisa diseruduk babi”, begitu kesaksian beberapa warga.

Rozali, ketua lingkungan setempat, dan beberapa warga, menuturkan sulit membangun kebersamaan masyarakat. Ikatan sosial antar mereka sangat rentan. Tidak ada satupun kelompok masyarakat yang secara organik hidup di lingkungan ini, bahkan kelompok semacam Posyandu sekalipun. Bahkan, sebagaimana diakui oleh Rozali, lembaga-lembaga kemasyarakatan formal pun tidak berdaya mengikat mereka menjadi suatu komunitas yang solid bersama-sama dengan masyarakat pribumi.

Ketika sosialisasi program dilakukan, tidak lebih dari 10 orang warga yang hadir. Sebagian besar dari kelompok masyarakat non pribumi dan meninggalkan acara sebelum pertemuan selesai. Bahkan, sebagaimana dituturkan Rozali, kelompok pengelola sampah yang dibentuk khusus untuk mengelola program ini beranggotakan orang-orang yang berasal dari luar Lingkungan Empat.

Soliditas Sosial Masyarakat Nelayan
Berbeda dengan masyarakat Belinyu, Lingkungan Parit Pekir, Kelurahan Sungai Liat, Kecamatan Sungai Liat adalah sebuah komunitas nelayan. Lingkungan Parit Pekir dihuni hampir 800 kepala keluarga atau lebih dari 3000 jiwa. “Hampir sama dengan komposisi penduduk satu desa di Pulau Jawa, “ kata Darwanto, kepala lingkungan.

Komposisi penduduk di wilayah ini beragam, berasal dari Melayu, Bugis, Jawa dan Buton. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan. Tidak jauh dari lingkungan ini terdapat pelabuhan kecil, tempat pelelangan ikan, dan pasar senggol.

Corak dan karakteristik kultur kehidupan nelayan terlihat jelas. Mereka adalah komunitas yang sangat dinamis dengan ikatan sosial yang kuat. Minat dan antusiasme mereka terhadap program-program kemasyarakatan terlihat besar. Lebih dari 50 orang warga masyarakat hadir dalam pertemuan sosialisasi, bahkan sepertiga dari mereka adalah perempuan. Banyak organisasi kemasyarakatan hidup di lingkungan ini. Posyandu, kelompok pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, kelompok arisan, PKK, dan kelompok nelayan.

Sosialisasi hampir tidak perlu waktu terlalu lama dan lebih lancar. Diskusi juga lebih terfokus kepada bagaimana program persampahan ini akan dikelola dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat setempat. Bahkan mereka sudah membentuk kelompok pengelola sampah. Ini tidak seperti pada diskusi di Kecamatan Belinyu yang masih berkisar kepada apa dan mengapa program persampahan.

Bagi sebagian masyarakat Parit Pekir, program persampahan juga bukan sebuah program yang asing. Kepala lingkungan Parit Pekir pernah mengikuti pelatihanpersampahan dan melakukan studi banding terhadap beberapa program pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Kelompok ibu-ibu PKK juga pernah mengikuti pelatihan pengelolaan daur ulang sampah, bahkan telah terampil menghasilkan kerajinan berbahan dasar sampah plastik, dan sebagaian besar karya mereka telah dipamerkan dalam pameran yang diselenggarakan Dinas Lingkungan Hidup setempat.

Catatan Penutup dan Rekomendasi
Kebiasaan buang sembarangan dan bakar masih dilakukan oleh masyarakat di kedua lokasi program. Kesadaran mereka terhadap pengolahan sampah sama-sama masih rendah. Dibandingkan dengan Belinyu, Parit Pekir relatif memiliki modal sosial yang kuat yang memungkinkan mereka mengeksekusi program ini dengan derajat partisipasi yang besar. Masyarakat Parit Pekir juga sudah terterpa beragam informasi soal program semacam ini. Khusus di Belinyu, disarankan agar struktur kelompok pengolah sampah mengikuti komposisi penduduk, menggabungkan masyarakat pribumi dan non pribumi. Mungkin agak sulit, tetapi ini justru harus dilakukan untuk menembus kebekuan ikatan sosial dan memperkuat social capital yang rentan.

Program ini seharusnya memperhitungkan lansekap politik tata pemerintahan yang berlaku saat ini. Inisiator program ini adalah pemerintahan provinsi. Tetapi dalam tata pemerintahan otonomi, pemerintah provinsi tidak punya kaki hingga ke desa-desa. Pemegang otonomi adalah pemerintah kabupaten/kota. Jauh sebelum program ini dieksekusi, semestinya pemerintah provinsi membangun kesepahaman bersama, termasuk membahas siapa yang akan membiayai dan melanjutkan program ini setelah bantuan provinsi selesai. Sekarang masih menggantung pertanyaan, siapa yang akan mengeksekusi program ini ketika usia program selesai dan social capital masyarakat belum lagi kuat?